Pengenalan Produk Tuna Loin Beku
TUNA
2.1 Pengenalan Umum Tuna
Menurut
Junianto (2003), tuna merupakan salah satu jenis ikan yang berharga sangat
mahal. Oleh karena itu,
metode penangkapan tuna sangat penting artinya untuk mendapatkan nilai jual
ikan tuna yang sangat tinggi. Penanganan dan pengolahan ikan tuna di atas kapal
sangat penting untuk diketahui dan dipahami dalam upaya menjaga konsistensi
kualitas produk. Untuk mendapatkan kualitas tuna yang baik, penanganannya sudah
dimulai sejak dilakukan penangkapan. Pemahaman tentang biologi tuna akan
mempermudah penanganan ikan tuna.
2.1.1
Klasifikasi Tuna
Menurut Junianto (2003)
bahwa dalam sistem klasifikasi, tuna termasuk family Scombroidea dimana salah
satu ciri dari ikan anggota Scombroidea yaitu kandungan asam amino bebas
histidin yang tinggi.
Menurut
Saanin (1983 dalam Widiastuty (2007), ikan tuna diklasifikasikan sebagai
berikut:
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Sub ordo : Scombroidae
Familia : Scombroidea
Genus : Thunnus
Species : Thunnus
Albacores
Thunnus
Obesus
Thunnus
alalunga (albacore)
Thunnus tongkol (longtail tuna)
Thunnusmaccoyii
(southern bluefin tuna)
Menurut
Tampubolon (1983), spesies tuna yang dianggap paling komersil adalah seperti
pada Tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1.
Jenis Ikan Tuna dan Nama Perdagangannya.
Nama
Indonesia
|
Nama
Perdagangan
|
Nama
Latin
|
Albakora
|
Albacore
|
Thunnus
alalunga
|
Abu-abu Selatan
|
Southern
bluefin
|
Thunnus
maccoyii
|
Abu-abu Utara
|
Northern
bluefin
|
Thunnus
thynnus
|
Cakalang
|
Skipjack
|
Katsuwonus
Pelamis
|
Madidihang
|
Yellowfin
|
Thunnus
albacores
|
Matabesar
|
Bigeye
|
Thunnus
obesus
|
Tongkol
|
Little
tuna
|
Euthynnus
affinis
|
Tongkol pisang
|
Frigated
mackerel
|
Auxis
thazard
|
2.1.2
Morfologi Tuna
Umumnya
badan ikan tuna tampak padat, silindris panjang. Mulutnya cukup lebar,
posisinya terletak di muka sedikit di bawah matanya. Mempunyai gigi kecil dan runcing yang makin ke
belakang makin kecil ukurannya. Matanya lebar, mempunyai dua sirip dorsal yang
berdekatan, di belakang sirip dorsal yang kedua sampai ekornya terdapat 8-9
sirip-sirip kecil. Sirip-sirip demikian juga terdapat antara sirip anal dan
ekornyadibagian bawah badan (Hadiwiyoto, 1993).
Tuna
mempunyai panjang antara 40 cm – 200 cm dengan berat antara 3-130 kg. Tuna terbagi atas beberapa jenis seperti Yellow fin tuna, Albacore, Long tail tuna, Black
fin tuna, dan Southern blue fin tuna. Sedangkan di
Indonesia jenis-jenis yang tertangkap adalah Yellow fin tuna atau madidihang,
Big eye tuna atau biasa di sebut tuna mata besar, Albacore, dan Southtern blue
fin tuna (Tampubolon, 1983 dalam Novriyanti, 2007).
2.1.3
Komposisi Daging Tuna
Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein
yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 -
26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2-2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan
tuna mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol),
dan vitamin B golongan thiamin, riboflavin dan niasin (Departemen of Health
Education and Walfare 1972 yang diacu Maghfiroh, 2000).
Menurut Murniyati
dan Sunarman (2000), komposisi kimia daging ikan tuna bervariasi menurut jenis,
umur, kelamin dan musim. Perubahan yang nyata
terjadi pada kandungan lemak sebelum dan sesudah memijah. Kandungan lemak juga berbeda nyata pada
bagian tubuh yang satu dengan yang lain.
Menurut Soen’an
(2004), bahwa semakin bertambah usia, kandungan lemaknya semakin tinggi. Ikan
yang bermigrasi dalam kondisi buruk dapat menurunkan lemaknya. Pada masa
setelah bertelur lemak ikan meninggi. Dan ikan yang tinggal di habitat yang
kaya makanan banyak mengandung lemak. Untuk lebih jelasnya komposisi kimia ikan
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Komposisi Kimia
Ikan Tuna (%)
Species
|
Air
|
Protein
|
Lemak
|
Karbohidrat
|
Abu
|
Bluefin
|
68,70
|
28,30
|
1,40
|
0,10
|
1,50
|
Southern
Bluefin
|
65,60
|
23,60
|
9,30
|
0,10
|
1,40
|
Yellow Fin
|
74,20
|
22,20
|
2,10
|
0,10
|
1,40
|
Skipjack
|
70,40
|
25,80
|
2,00
|
0,40
|
1,40
|
Marlin
|
72,10
|
25,40
|
3,00
|
0,10
|
1,40
|
Mackerel
|
62,50
|
19,80
|
16,50
|
0,10
|
1,10
|
Sumber : Murniyati dan Sunarman (2000)
2.2
Penurunan Mutu Ikan
Setelah ikan
ditangkap/dipanen dan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia dan organoleptik
terjadi dengan cepat yang diakibatkan oleh reaksi kimia, enzim autolysis dan
aktifitas mikroba. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah pada
pembusukan. Tahap-tahap kemunduran kesegaran ikan adalah hiperaemia, rigor
mortis, autolysis dan penyerangan bakteri. Fase yang terjadi pada ikan yang
baru mengalami kematian disebut fase pre-rigor. Perubahan pada fase ini
ditandai terlepasnya lendir dari kelenjar dibawah permukaan kulit ikan yang
membentuk lapisan bening tebal di sekeliling tubuh (Zaitsev et al, 1969 dalam
Ditjen P2HP, 2008).
Penurunan mutu pada ikan yang
terjadi dapat meliputi perubahan oleh karena proses kimiawi, enzimatis, dan
bakteriologis.
2.2.1 Kemunduran Mutu Secara Kimiawi
Kemunduran mutu secara kimiawi meliputi terjadinya proses oksidasi
lemak. oksidasi ini terjadi karena enzim lipolitik mengurai lemak menjadi
asam-asam lemak bebas dan gliserol, dimana proses yang terjadi adalah
oto-oksidasi, lipolisis, dan lipoksida. Proses oto-oksidasi disebabkan oleh
enzim hidroperoksida, lipolisis disebabkan oleh enzim-enzim hidrolase atau
lipase, dan lipoksidasi disebabkan oleh enzim lipoksidase. Dan apabila
pembongkaran lemak berlanjut maka akan menghasilkan senyawa-senyawa keton, dan aldehid.
Sehingga lemak mengalami proses ketengikkan (Hadiwiyoto, 1993).
2.2.2 Kemunduran Mutu Secara Enzimatis
Selama ikan hidup,
enzim ini menbantu proses metabolism makanan sehingga aktivitas enzim selalu
menguntungkan bagi kehidupan ikan itu sendiri. Tetapi setelah ikan mati, sistem
kerja enzim menjadi tidak terkontrol lagi, sehingga merusak tubuhnya sendiri,
seperti dinding usus, daging, bagian tubuh lain, serta menguraikan senyawa yang
semula kompleks menjadi senyawa lebih sederhana. Semua hasil penguraian enzim
selama proses autolysis merupakan media yang sangat cocok untuk fase
pertumbuhan bakteri (Sarmono, 2002).
Autolisis adalah proses perombakan sendiri, yaitu
proses perombakan jaringan oleh enzim yang berasal dari bahan pangan itu
tersebut. Proses autolysis terjadi pada saat bahan pangan memasuki fase post
rigor mortis. Ikan yang mengalami autolysis memiliki tekstur tubuh yang tidak
elastis, sehingga apabila daging tubuhnya ditekan dengan jari akan membutuhkan
waktu relatif lama untuk kembali kekeadaan semula. Proses autolisis dapat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di sekelilingnya. Suhu yang tinggi akan
mempercepat proses autolysis ikan yang tidak diberi es (Afrianto, 2008).
Autolysis belum dapat disebutkan pembusukan karena hasil hidrolisis
protein dan lemak masih dapat dimakan manusia. Namun demikian, autolysis
merubah struktur daging sehingga kekenyalannya menurun; daging menjadi lembek;
terbagi menjadi lapisan-lapisan dan terpisah dari tulang. Kerusakan ini
menyebabkan bagian perut sobek. Selain itu, pemecahan protein menghasilkan
substrat yang disukai bakteri yang menyebabkan pembusukan (Murniyati dan
Sunarman, 2000). Kecepatan autolisis tergantung pada suhu dan tidak dapat
dihentikan total, akan tetapi bisa diperlambat. Biasanya proses autolisis akan
selalu diikuti dengan meningkatnya bakteri (Junianto, 2003).
2.2.3 Kemunduran
Mutu Secara Bakteriologis
Fase perubahan selanjutnya setelah
autolysis adalah perubahan yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme,
terutama bakteri. Dalam keadaan masih hidup ikan dianggap mengandung bakteri,
bahkan ada yang menyebutkan steril, walaupun sebenarnya pada tubuh ikan itu
banyak dijumpai mikroorganisme. Ikan hidup memiliki kemampuan untuk mengatasi
aktivitas mikroorganisme itu, sehingga tidak bermasalah bagi hidupnya (Sarmono,
2002).
Dalam keadaan hidup ikan dianggap tidak mengandung bakteri yang bersifat
merusak (steril), meskipun di dalam lendir yang melapisi badan dan didalam
insang maupun sistim pencernaan terdapat banyak mikroorganisme (Moeljanto,
1992).
Aksi bakteri ini dimulai pada saat yang hampir bersamaan dengan autolisis
dan kemudian sejajar. Bakteri merusak lebih parah daripada kerusakan yang
diakibatkan oleh enzim (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Selama ikan hidup, bakteri yang hidup dalam saluran pencernaan, insang
saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak atau menyerang
bagian-bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barier)
terhadap penyerangan bakteri. Setelah ikan mati kemampuan barier tadi hilang
sehingga bakteri segera masuk ke dalam daging ikan (Junianto, 2003).
Daging ikan yang baru saja mati boleh dikatakan
steril, tetapi sejumlah besar bakteri bersarang dipermukaan tubuh, insang dan
didalam perutnya. Bakteri itu secara bertahap memasuki daging ikan, sehingga
penguraian oleh bakteri mulai
berlangsung intensif setelah rigor mortis berlalu, yaitu setelah daging
mengendur dan celah-celah serat-seratnya terisi cairan (Murniyati dan Sunarman,
2000).
Menurut Murniyati dan Sunarman (2000), untuk
dapat hidup dengan baik, bakteri memerlukan suhu tertentu tergantung jenisnya.
Ada tiga macam jenis bakteri bedasarkan ketahanan terhadap suhu, yang
antaranya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kisaran Suhu Bagi Pertumbuhan Bakteri.
Jenis Bakteri
|
Suhu Minimum
|
Suhu Optimum
|
Suhu Maksimum
|
Thermophylic
Mesophylic
Psycrophylic
|
25 - 450C
5 – 250C
00C
|
50 – 550C
25 – 370C
14 – 200C
|
60 – 800C
430C
300C
|
2.2.4 Histamin
Histamin adalah senyawa yang terdapat pada famili ikan scromboidae atau lebih dikenal dengan tuna. Pada jenis ikan tuna
yang memiliki dua jenis daging yaitu
putih dan gelap justru daging-daging putihlah yang tinggi histaminnya
sedangkan daging yang merah jauh lebih sedikit. Untuk konsumsi manusia, daging
merah lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari segi histamin.
Mengapa daging merah justru kecil kandungan histaminnya, hal itu disebabkan
daging merah tinggi kandungan 20 trimetil amina oksida (TMAO) yang
berfungsi menghambat proses terbentuknya histamin. Histamin di dalam daging
diproduksi oleh enzim yang menyebabkan meningkatnya pemecahan histidin melalui
proses dekarboksilase (Winarno, 1993).
Menurut Hadiwiyoto
(1993), degradasi histidin yang dikatalis oleh
enzim histidine dekarboksilase menjadi histamin.
Senyawa histamin mungkin tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging
ikan menjadi berbahaya. Senyawa histamin
bersifat racun yang dalam beberapa hal menimbulkan keracunan yang disebut “Scromboid
Food Poisoning”.
Keberadaan
histamin pada bahan pangan menandakan tingkat kemunduran mutu bahan tersebut.
Pembentukan amina biogenic ini tergantung dari ketersediaan asam amino bebas,
keberadaan dekarboksilase yang dikandung mikroorganisme (bakteri dengan enzim
yang menyebabkan dekarboksilasi asam amino bebas) dan kondisi yang mendukung
pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzim (Putro, 2002 dalam Widiastuty, 2007).
Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari
daging tubuh ikan sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat
dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta
mikroba lain yang mengkontaminasi ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya
oleh US-FDA telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg
per 100 g menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa
tahap penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna
tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian depan
tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di
bagian ekor (Winarno, 1993).
Dari ratusan jenis
bakteri yang diteliti ada tiga jenis yang mampu memproduksi histamin dari
histidin dalam jumlah tinggi yaitu antara lain Proteus morganii,
Enterobacter aerogeneses, Clostridium prefringens.
Penyimpanan ikan pada kondisi refrigerasi
sejak ikan ditangkap hingga dikonsumsi merupakan hal yang sangat penting untuk
mengurangi kerusakan ikan dan menghindari terjadinya keracunan histamin. Suhu
rendah mengontrol bakteri penghasil histamin selama ikan ditangani dan diolah
(Public Health Divisin, 2002 dalam Widiastuty, 2007).
Selama pendinginan kadar
histamin tidak mengalami perubahan, tetapi pada waktu pendinginan karena suatu
hal tertunda sehingga menjadi 24 jam, maka kadar histaminnya akan meningkat, demikian
juga jumlah bakteri akan meningkat 100 kali lebih banyak, tetapi bila
pendinginan dilakukan pada suhu 4oC selama 24 jam tidak berpengaruh terhadap kadar histamin
(Winarno,1993).
Menurut Huss (1994) dalam Widiastuty (2007), bahwa apabila histamin telah
terbentuk selama penanganan maka walau ikan tersebut dikalengkan atau dimasak
pada suhu tinggi tidak akan merubah kadar histamin sehingga tetap potensial
membahayakan manusia. Menurut Purnomo, Irianto dan Chasanah
(1990) dalam penelitiannya, bahwa tuna memiliki kandungan histamin yang
bervariasi sesuai dengan asalnya pada tubuh tuna dan lama penyimpanan.
2.3
Tuna Loin
2.3.1 Deskripsi Produk
Tuna loin beku adalah suatu produk
olahan hasil perikanan dengan bahan baku ikan tuna segar yang mengalami
perlakuan sebagai berikut: sortasi,
pemotongan kepala, sirip dan ekor, pencucian, pembuatan loin, pembuangan daging
gelap, pembuangan kulit dan perapihan, pembekuan dengan atau tanpa penggelasan,
pengepakan dan penyimpanan beku (Ditjenkan, 1993).
Menurut SNI
01-4104-2006, bahwa semua jenis
tuna dapat dibuat menjadi produk tuna loin namun pada umumnya bahan baku tuna
loin adalah yellowfin, bluefin, bigeye dan longfin.
2.3.2 Proses Pengolahan
Tuna Loin Beku
Penanganan
yang kasar dan ceroboh harus dicegah, saat dinaikkan ke atas kapal jangan
terbentur benda keras, jangan terjatuh bengkok, dan tidak banyak kehilangan
tenaga artinya tidak banyak berjuang keras menghadapi kematiannya yang dapat
menjadi penyebab kerusakan mutu ikan segar karena proses rigor mortis yang
berlangsung cepat (Murnyati dan Sunarman, 2000).
Pengolahan bahan baku yang dilakukan secara cermat
akan menghasilkan produk bermutu baik. Cara penanganan dan proses pengolahan
bahan baku, penanganan, distribusi, dan pemasaran produk pangan berpengaruh
terhadap mutu produk pangan yang dipasarkan (Afrianto, 2008).
Tuna loin beku adalah
tuna yang telah mengalami perlakuan sehingga suhu pusatnya maksimum -18oC,
merupakan produk olahan hasil perikanan dengan bahan baku tuna segar atau beku
yang mengalami perlakuan sebagai berikut: penerimaan, penyiangan atau tanpa
penyiangan, pencucian, pembuatan loin, pengulitan dan perapihan, sortasi mutu, pembungkusan
(wrapping), pembekuan, penimbangan,
pengepakan, pelabelan dan penyimpanan. Standar mencakup klasifikasi, syarat
bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan makanan, cara penanganan dan
pengolahan, teknik sanitasi dan higiene, syarat mutu dan keamanan pangan,
pengambilan contoh, cara uji, serta syarat penandaan dan pengemasan untuk tuna
loin beku. (http://websisni.bsn.go.id/index.php?/sni_main/sni/detail_sni/7576,
2010).
Berdasarkan
SNI 01-4104-2006 penanganan dan pengolahan tuna loin beku dibedakan menjadi dua
berdasarkan kondisi bahan baku yang digunakan, yaitu bahan baku tuna segar dan
bahan baku tuna beku
2.3.2.1 Bahan Baku Tuna Segar
Penerimaan
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji
secara organoleptik, untuk mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani
secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal
4,4°C.
Menurut Ditjenkan (1993), Ikan terlebih dahulu dicuci untuk
menghilangkan lendir atau kotoran yang menempel pada tubuh ikan tuna, kemudian
disortasi menurut ukuran dan mutu. Ukuran tuna yang diterima untuk pengolahan
tuna loin adalah yang berukuran 30 kg keatas, mutu tuna yang dapat diterima sebagai
bahan baku loin adalah Warna daging kemerah-merahan seperti merah semangka
untuk jenis Yellowfin tuna sedangkan
untuk jenis Big eye tuna merahnya
seperti bunga rose (dihindarkan warna daging
ikan yang pucat/putih), Elastis atau daging masih
kenyal tidak boleh pecah atau mudah hancur, dan kecerahan tuna bila diusap seperti kaca.
Ukuran ikan menunjukkan besar kecilnya ikan. Pada
umumnya ikan dikatakan besar apabila panjangnya melebihi ukuran 20 cm,
sedangkan ikan dikatakan kecil apabila panjang ikan kurang dari 10 cm. Ukuran
panjang keseluruhan seekor ikan adalah panjang yang diukur dari ujung mulut
ikan sampai dengan ujung ekor ikan (Hadiwiyoto, 1993).
Pemotongan Kepala, Sirip dan
Ekor
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh,
ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan
secara cepat, cermat dan saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada
tahap berikutnya dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
Pemotongan dimulai dari bagian kepala, pisau kemudian diarahkan
kebagian punggung sampai tepat pada tulang belakangnya, kemudian disayat pada
bagian samping kiri kanan daging punggung dan perut yang selanjutnya dilakukan
pembelahan dari pangkal kapala sampai pada inlet 3 dari pangkal ekor, searah
dengan linea literalis sehingga bisa
lepas (Ditjenkan, 1993).
Pada saat ikan mati, enzim pencernaan yang ada dalam perut dan usus
masih aktif. Jika usus dan alat
pencernaan yang banyak mengandung enzim tidak dibuang maka enzim ini akan
memecah jaringan saluran pencernaan dan menghancurkan dinding perut (Junianto,
2000).
Pencucian
Ikan dicuci dengan
hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir
secara
cepat, cermat dan saniter untuk mempertahankan suhu pusat produk maksimal
4.4°C.Pencucian ini bertujuan untuk
menghilangkan sisa kotoran dan darah yang menempel di tubuh ikan sehingga
bebas dari kontaminasi bakteri pathogen.
Pencucian
bahan pangan yang ditujukan untuk mengurangi populasi mikroba alami (flora
alami) yang terdapat dalam bahan pangan, sehingga populasinya tidak berpengaruh
pada proses selanjutnya. Pencucian dilakukan dalam air mengalir, bersih dan
sudah didinginkan antara suhu 0-5oC (Afrianto, 2008).
Pembuatan
Loin
Pembuatan loin dilakukan dengan cara
membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur. Proses pembuatan loin
dilakukan secara cepat, cermat dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat
produk 4,4°C. Pembuatan loin ini bertujuan untuk mendapatkan bentuk loin sesuai
dengan ukuran yang ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen
Pengulitan
dan Perapihan
Tahap berikutnya
yaitu pembuangan kulit, dilanjutkan dengan merapihkan bentuk loin dan membuang
lapisan lemak yang masih terdapat pada permukaan daging guna mencegah
terjadinya kontaminasi.
Sortasi Mutu
Sortasi
mutu dilakukan dengan
memeriksa loin apakah masih terdapat tulang, duri, daging merah dan kulit
secara manual. Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat dan saniter
dengan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
Menurut Afrianto (2008), sortasi pada bahan baku
bertujuan untuk mendapatkan bahan baku ikan dengan jenis, ukuran dan mutu yang
seragam. Pemisahan ini akan menjaga mutu bahan baku tetap baik. Dengan bahan
baku bermutu baik akan dapat dihasilkan produk pangan dengan mutu yang relatif
sama.
Menurut Ditjenkan (1997), sebelum dimasukkan ke dalam
ruang pengolahan bahan baku harus diperiksa dan disortir dengan cara saniter
hanya bahan baku yang memenuhi syarat kesegaran dan bersih yang boleh diolah.
Pembungkusan (Wrapping)
Loin
yang sudah rapih selanjutnya dikemas dalam plastik secara individual vakum dan
tidak vakum secara cepat. Proses pembungkusan dilakukan secara cepat, cermat
dan saniter dan tetap mempertahankan suhu pusat produk maksimal 4,4°C.
Pembekuan
Loin yang sudah dibungkus kemudian dibekukan dengan
alat pembeku (freezer) seperti ABF, CDF, Brain hingga suhu pusat ikan
mencapai maksimal -18°C dalam waktu
maksimal 4 jam.
Pembekuan adalah
cara yang paling banyak digunakan untuk mengolah hasil perikanan. Keunggulan
paling utama dibanding cara pengolahan yang lain adalah kemapuan pembekuan dalam mengawetkan bahan baku atau
produk hasil perikanan tanpa harus merubah sifat asli produknya. Pendinginan
adalah pengolahan dengan cara menurunkan suhu ikan mendekati titik beku.
Kondisi ini menunda kegiatan biokomiawi dan bakteriologis dari bahan baku,
sehingga dapat memperpanjang daya awet atau masa simpan produk. Pembekuan
adalah suatu cara pengolahan dengan mengurangi suhu produk dari temperatur asal
sampai mencapai -180C dan sebagian besar dalam tubuh telah berubah
menjadi es (Soen’an, 2002).
Penimbangan
Loin
ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi.
Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap
mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C. Tujuan dari penimbangan ini
adalah mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan
dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
Pengepakan
Loin
yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan dimasukkan
dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter sehingga melindungi produk
dari kontaminasi dan kerusakan selama transportasi dan penyimpanan serta sesuai
dengan label.
2.3.2.2 Bahan Baku Tuna Beku
Penerimaan
Bahan
baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk
mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat,
cermat dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal -18°C. Dengan demikian
akan didapatkan bahan baku yang bebas bakteri patogen dan memenuhi persyaratan
mutu, ukuran dan jenis.
Penyiangan Atau Tanpa Penyiangan
Apabila
ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara membuang
kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat dan saniter
sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan suhu pusat
produk maksimal -18°C. Penyiangan dilakukan bertujuan untuk mendapatkan ikan
yang bersih, tanpa kepala dan isi perut serta mereduksi kontaminasi bakteri
patogen.
Pembuatan Loin
Pembuatan
loin dilakukan dengan cara membelah ikan menjadi empat bagian secara membujur.
Proses pembuatan loin dilakukan secara cepat, cermat dan saniter serta tetap
mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C
Pengulitan dan Perapihan
Tulang, daging hitam (dark meat) dan kulit
yang ada pada loin dibuang hingga bersih. Pengkulitan dan perapihan dilakukan
secara cepat, cermat dan saniter serta tetap mempertahankan suhu pusat produk
maksimal -18°C
Okada
(1990) dalam Widiastuty (2007) menyatakan bahwa daging merah mengandung
mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna
merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun
atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara
hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80%
hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan
mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g
(Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada
daging merah ikan tuna.
Pembekuan
Loin yang sudah disusun dalam pan pembekuan,
dibekukan dalam alat pembeku (Freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai
maksimum -18°C secara cepat. Bertujuan untuk membekukan produk hingga mencapai
suhu pusat maksimal -18°C secara cepat
dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.
Menurut
Moeljanto (1992), proses pembekuan yaitu panas yang diambil diikuti dengan
turunnya suhu produk dibekukan dan berubahnya sebagian kadar air yang
terkandung dalam produk menjadi es.
Penimbangan
Loin
ditimbang satu per satu dengan menggunakan timbangan yang sudah dikalibrasi.
Penimbangan dilakukan dengan cepat, cermat dan saniter serta tetap
mempertahankan suhu pusat produk maksimal -18°C. tujuannya adalah untuk
mendapatkan berat loin yang sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan dan
bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
Pengepakan
Loin
yang telah dilepaskan dari pan pembeku, kemudian dikemas dengan plastik dan
dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat dan saniter. Hal ini
bertujuan untuk melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan selama
transportasi dan penyimpanan serta sesuai dengan label.
2.3.2.3 Penyimpanan
Penyimpanan tuna loin beku dalam gudang beku (cold
storage) dengan suhu maksimal -25°C dengan fluktuasi suhu maksimal ± 2°C.
Penataan produk dalam gudang beku diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan
sirkulasi udara dapat merata dan memudahkan pembongkaran.
Produk pangan yang
sudah dihasilkan perlu ditangani secara baik agar tidak mengalami
rekontaminasi, sehingga mutu produk pangan tetap terjaga sampai ke konsumen.
Pengemasan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya rekontaminasi.
Pemilihan waktu untuk mengemas, jenis bahan pengemas, dan kebersihan bahan
pengemas sangat berpengaruh terhadap
upaya pencegahan rekontaminasi (Afrianto, 2008).
Menurut SNI
01-4104-2006, bahan baku Tuna Loin
Beku adalah semua jenis tuna yang dapat diolah untuk dijadikan produk
berupa Tuna Loin Beku. Bahan baku harus
bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda
dekomposisi dan pemalsuan,bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat
menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan, juga harus berasal dari
perairan yang tidak tercemar serta secara organoleptik bahan baku tersbut harus
mempunyai karateristik kesegaran sekurang-kurangnya sebagai berikut :
Konsistensi :
elstis, padat dan kompak
Persyaratan
mutu tuna loin beku harus sesui dengan syarat mutu berdasarkan SNI 01-4104-2006,
seperti yang terlihat pada Tabel 4.
Tabel
4 . Standar Mutu Tuna Loin Beku
JENIS UJI
|
SATUAN
|
PERSYARATAN
|
Organoleptik
|
Skala hidonik 1-9
|
Minimal 7
|
Cemaran mikroba*:
ALT
Eschericia
coli
salmonella
vibrio
cholera
|
Koloni/gram
APM/gram
APM/gram
APM/gram
|
5 x 105
<2
negatif
negatif
|
Cemaran kimia* :
Raksa (Hg)
Timbal (Pb)
Histamin
Cadmium (Cd)
|
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
|
maksimal 1
maksimal 0,4
maksimal 100
maksimal 0,5
|
Fisika :
Suhu pusat
|
oC
|
Maksimal -18
|
Parasit
|
ekor
|
Maksimal 0
|
Catatan * bila
diperlukan
|
2.4
Penerapan Sistem Rantai Dingin
Pengawetan ikan dengan
suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan/pemindahan panas dari tubuh ikan
ke bahan lain. Adapula yang mengatakan bahwa pendinginan adalah pengambilan
panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu
ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu diluar
ruangan (Adawyah, 2008).
Menurut Sarmono (2002),
besarnya pengaruh suhu terhadap daya awet ikan segar dapat dijelaskan antara
lain, pada suhu 0oC ikan dapat awet selama 15 hari, pada suhu 4,4oC
ikan dapat awet selama 6 hari dan pada suhu 15,6oC ikan dapat awet
hanya 3 hari.
Pada suhu rendah
(dingin dan beku), proses-proses biokimia yang berlangsung dalam tubuh ikan
yang mengarah pada kemunduran mutu ikan menjadi lebih lambat. Selain itu, pada
kondisi suhu rendah pertumbuhan bakteri pembusuk dalam tubuh ikan juga dapat
diperlambat. Dengan demikian. Kesegaran ikan akan semakin lama dipertahankan
(Junianto, 2003).
Menurut Moeljanto
(1992), penerapan rantai dingin ini dilakukan dengan pengusahaan suhu rendah
sekitar 00C mulai dari tahap awal sampai akhir. Dengan mendinginkan
ikan sampai sekitar 00C kita dapat memperpanjang masa kesegaran
(daya simpan, shelf-life) ikan sampai
12-18 hari sejak saat ikan itu ditangkap dan mati, tergantung pada jenis ikan,
cara penanganan dan keadaan pendinginannya, untuk ikan tuna yang ditangani dan
didinginkan dengan baik sejak ditangkap, dapat bertahan sampai 21 hari sebelum
dinyatakan tidak layak untuk dimakan manusia (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Menurut Ilyas (1993), kecepatan penurunan mutu kesegaran ikan sampai saat ikan
menjadi busuk, dipengaruhi oleh suhu, semakin rendah suhu produk semakin awet
kesegarannya dan semakin tinggi kadar awal bakteri bahan mentah sebelum
dibekukan, relative akan besar pula jumlah bakteri yang tersisa sesudah
pembekuan dan penyimpanan beku.
Menurut
Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang optimum untuk
berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu penyimpanan yang lebih
tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya proses pembusukan. Suhu
rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 15oC efektif dalam mengurangi
laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat berguna untuk pengawetan
jangka pendek. Setiap penurunan suhu 8oC menyebabkan laju
metabolisme akan berkurang setengahnya. Menyimpan bahan pangan pada suhu
sekitar -2oC sampai 10oC diharapkan dapat memperpanjang
masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat
aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga
mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan
pangan.
2.4.1
Pendinginan
Pendinginan umumnya
merupakan suatu metode pengawetan yang ringan, pengaruhnya kecil sekali
terhadap mutu bahan pangan secara keseluruhan. Oleh sebab itu pendinginan
seperti di dalam lemari es sangat cocok untuk memperpanjang kesegaran atau masa
simpan sayuran dan buah-buahan. Sayuran dan buah-buahan tropis tidak tahan
terhadap suhu rendah dan ketahanan terhadap suhu rendah ini berbeda-beda untuk
setiap jenisnya. Sebagai contoh, buah pisang dan tomat tidak boleh disimpan
pada suhu lebih rendah dari 13oC karena akan mengalami chilling injury yaitu kerusakan karena
suhu rendah. Buah pisang yang disimpan pada suhu terlalu rendah kulitnya akan
menjadi bernoda hitam atau berubah menjadi coklat, sedangkan buah tomat akan
menjadi lunak karena teksturnya rusak (www.wordpress/munzir08.com,
2009).
Pada prinsipnya pendinginan adalah mendinginkan ikan
secepat mungkin ke suhu serendah mungkin, tetapi tidak sampai menjadi beku.
Pada umumnya, pendinginan tidak dapat mencegah pembusukan secara total, tetapi
semakin dingin suhu ikan, semakin besar penurunan aktivitas bakteri dan enzim.
Dengan demikian melalui pendinginan proses bakteriologi dan biokimia pada ikan
hanya tertunda, tidak dihentikan. Untuk mendinginkan ikan, seharusnya ikan
diselimuti oleh medium yang lebih dingin dari-nya, dapat berbentuk cair, padat,
atau gas. Pendinginan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan refrigerasi, es, slurry
ice (es cair), dan air laut dingin (chilled sea water). Cara yang
paling mudah dalam mengawetkan ikan dengan pendinginan adalah menggunakan es
sebagai bahan pengawet, baik untuk pengawetan di atas kapal maupun setelah di
daratkan, yaitu ketika di tempat pelelangan, selama distribusi dan ketika
dipasarkan. Penyimpanan ikan segar dengan menggunakan es atau sistem
pendinginan yang lain memiliki kemampuan yang terbatas untuk menjaga kesegaran
ikan, biasanya10–14 hari (Wibowo dan Yunizal, 1998).
Menurut Irawan (1995), banyak cara
yang dilakukan dalam pengawetan dengan pendinginan, diantaranya adalah dengan
es (termasuk es kering dan es biasa), larutan garam dingin, udara dingin dan
lain-lain.
2.4.2
Pembekuan
Pembekuan berarti
mengubah kandungan cairan yang terdapat pada sebagian besar tubuh ikan itu
menjadi es. Ikan akan mulai membeku pada suhu antara -0,6oC sampai
-2oC, atau rata-rata pada -1oC. yang mula-mula membeku
adalah air bebas (free water),
disusul oleh air terikat (bound water).
Pembekuan dimulai dari bagian luar, bagian tengah membeku paling akhir
(Adawyah, 2008).
Menurut Murniyati dan
Sunarman (2000), Pembekuan membutuhkan pengeluaran panas dari tubuh ikan.
Prosesnya, terbagi atas tiga tahapan, yaitu
-
Pada tahap pertama suhu menurun dengan
cepat hingga saat tercapainya titik beku (20oC hingga 0oC)
-
Kemudian, pada tahapan kedua suhu turun
perlahan-lahan (0oC hingga mencapai -5oC)karena dua hal
yaitu penarikan panas dari ikan bukan berakibat pada penurunan suhu, melainkan
berakibat pada pembekuan air di dalam tubuh ikan dan terbentuknya es pada
bagian luar dari ikan merupakan penghambat bagi proses pendinginan dari
bagian-bagian di dalamnya.
-
Pada tahapan ketiga, jika kira-kira ¾
bagian dari kandungan air sudah beku, penurunan suhu berjalan cepat kembali
(dibawah -5oC)
Waktu yang dibutuhkan
ikan dalam pembekuan untuk melintasi tahapan kedua (0oC hingga -5oC
) disebut thermal arrest time.
Berdasarkan panjang-pendeknya waktu ini, pembekuan dibagi menjadi dua, yaitu
pembekuan cepat (quick freezing) yang
tidak lebih dari dua jam dan pembekuan lambat (slow freezing atau sharp
freezing) yang lebih dari dua jam.
Pembekuan cepat dan
pembekuan lambat mempengaruhi besar dan kecilnya kristal es yang terbentuk.
Semakin cepat pembekuan semakin kecil kristal es yang terbentuk, sebaliknya
semakin lama pembekuan semakin besar kristal es yang terbentuk. Oleh karena
itu, pada pembekuan lambat jika dicairkan kembali maka kristal yang mencair
akan mendesak dan merusak susunan jaringan daging serta menimbulkan terjadinya
drip yang cukup banyak. Dengan demikian, pembekuan lambat menghasilkan produk
ikan bermutu rendah karena terjadinya denaturasi protein, khususnya pada suhu
-1oC dan -2oC (Murniyati dan Sunarman, 2000).
Pembekuan adalah proses
penurunan suhu bahan pangan sampai bahan pangan membeku, yaitu jika suhu pada
bagian dalamnya paling tinggi sekitar
-18oC, meskipun umumnya produk beku mempunyai suhu lebih
rendah dari ini. Pada kondisi suhu beku ini bahan pangan menjadi awet karena
mikroba tidak dapat tumbuh dan enzim tidak aktif. (www.wordpress/munzir08.com,
2009).
Dalam melakukan
pembekuan, baik yang dilakukan dilaut (kapal) maupun yang dilakukan di darat
(perusahaan/pabrik pengawetan ikan), tata cara tidak berbeda. Proses
pelaksanaan awalnya adalah memisahkan ikan menurut ukurannya. Jadi, antara ikan
ukuran kecil, sedang dan besar tidak tercampur menjadi satu (Irawan, 1995).
Blok-blok ikan harus mempunyai ukuran dan bentuk tertentu. Sistem pemberian
etiket atau kode-kode warna harus dilakukan pada waktu yang memuat bahan baku
untuk membantu identifikasi produk akhir. Bila dipakai alat pembeku yang
horizontal, bahan baku harus dipak dalam pan pembeku atau alat lain agar
didapatkan blok-blok ikan yang seragam. Bila digunakan alat pembeku plat yang
vertikal, bahan baku harus dipak dengan baik diantara plat pembeku sehingga sedikit mungkin terdapat
ruangan udara. Bila hasil perikanan dibekukan tanpa dibungkus terlebih dahulu,
harus diatur dengan rapi dalam pan-pan aluminium,atau bahan-bahan lain yang
sejenis (Ditjenkan,1997).
Berdasarkan cara kerjanya, terdapat beberapa jenis alat-alat pembekuan
antara lain sebagai berikut:
Air Blast Freezing
Freezer ini
memanfaatkan udara dingin sebagai refrigerant. Alat ini terdiri dari beberapa
tipe, yaitu tipe ruangan, terowongan dan tipe ban berjalan (belt conveyor) (Hariadi, 1994).
Contact Plate Freezing
Contact Plate Freezer sangat cocok untuk membekukan produk-produk perikanan
yang dikemas dalam kotak-kotak persegi, dengan bobot 1-4 kg. Pada pembekuan
sistem ini, produk yang dibekukan dijepit di antara dua plat berongga yang diisi
refrigerant (Hariadi, 1994).
Immersion freezing
Jenis freezer ini
khusus digunakan untuk pembekuan ikan-ikan utuh seperti tuna (tongkol besar),
udang dengan kepala. Cara pembekuannya yaitu dengan mencelupkan ikan kedalam
larutan garam (NaCl) bersuhu -17oC atau dengan menyemprotkan ikan
memakai brine dingin itu (Moeljanto, 1992).
Cryogenic freezing
Cryogenic freezer adalah jenis freezer yang menggunakan CO2 dan
N2 cair. Jenis freezer ini dapat menghasilkan suhu yang sangat
rendah, yaitu –78oC untuk CO2 cair dan –196oC
untuk N2 cair (Moeljanto, 1992).
Pembekuan dengan IQF freezer
Pembekuan
dengan IQF (Individually Quick Frozen) freezer
bertujuan agar tiap potong ikan atau udang menjadi beku tanpa menempel satu
sama lain. Olahan ikan atau jenis makanan lain masuk ke dalam freezer dengan
conveyor pada suhu 5-10oC dan keluar dalam keadaan beku dengan suhu
-18o sampai -20oC, waktu pembekuan 20 menit sampai 45
menit tergantung pada ketebalan produk (Moeljanto, 1992).
Sharp Freezing
Pembekuan
dengan Sharp freezer ini termasuk
pembekuan secara lambat. Adapun cara pembekuannya adalah dengan meletakkan
produk-produk pada sejumlah rak pendingin yang disusun secara horizontal.
Rak-rak tersebut terdiri dari pipa-pipa pendingin, dengan menggunakan
refrigerant Amonia atau Freon 12.
Kak, punya rekomandasi jual display cooler gak? yang bisa mendinginkan ikan :D
BalasHapusTerima Kasih, sangat membantu sekali dalam penyusunan laporan magang. Saya sangat berterima kasih sekali apabila dafpus juga disertakan, Sukses Selalu.
BalasHapusthansskk..sngat bermnfaat..
BalasHapus